
Jakarta, – Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, angkat bicara mengenai Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang tengah menjadi sorotan, khususnya terkait pembagian kewenangan antara lembaga penegak hukum. Wamenkumham yang akrab disapa Eddy Hiariej ini menegaskan bahwa pengaturan yang menempatkan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai penyidik utama dan Kejaksaan sebagai penuntut umum dalam sistem peradilan pidana Indonesia, sebagaimana yang dipertahankan dalam RUU KUHAP, sudah merupakan formulasi yang tepat.
Pernyataan ini disampaikan Wamenkumham pada hari Kamis, 8 Mei 2025, menanggapi dinamika pembahasan dan berbagai masukan publik terhadap RUU KUHAP yang bertujuan untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang telah berlaku lebih dari empat dekade.
Menurut Profesor Eddy Hiariej, prinsip diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) menjadi landasan utama mengapa pembagian peran tersebut dipertahankan. Dalam kerangka ini, setiap institusi penegak hukum memiliki fungsi dan kewenangan yang spesifik dan saling melengkapi.
“Sudah tepat karena penyidik adalah Polri, penuntut adalah Jaksa, dan yang memutus perkara adalah Hakim,” tegas Wamenkumham Eddy Hiariej. Ia menjelaskan bahwa dalam sistem hukum nasional, Polri memiliki kedudukan sebagai penyidik utama untuk seluruh tindak pidana.
Meskipun demikian, Wamenkumham juga mengakui peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagai elemen pendukung dalam proses penyidikan. “Adapun supporting accessories investigator adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). PPNS ini yang akan membantu penyidikan polisi dalam berbagai tindak pidana,” ujarnya. Namun, ia menggarisbawahi bahwa PPNS tetap berada di bawah koordinasi dan pengawasan Polri. “Semua di bawah koordinasi Polri,” tambahnya, menekankan sentralitas peran Polri dalam tahap penyidikan.
Lebih lanjut, Eddy Hiariej menjelaskan bahwa dalam konsep integrated criminal justice system, berkas perkara yang akan dilimpahkan ke tahap penuntutan idealnya hanya diterima oleh jaksa dari penyidik Polri, bukan dari pihak lain. Ini untuk menjaga alur dan integritas proses peradilan pidana.
Konteks Kewenangan Kejaksaan dalam Tindak Pidana Tertentu
Menanggapi perdebatan mengenai kewenangan penyidikan yang dimiliki Kejaksaan, Wamenkumham tidak menampik bahwa Kejaksaan memang memiliki hak untuk menyidik tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang khusus, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Undang-Undang Kejaksaan.
“Kejaksaan dalam UU Tipikor maupun UU Kejaksaan telah memiliki kewenangan dalam menyidik tindak pidana tertentu. Maka aturan dan kewenangan tersebut tetap berlaku,” ujar Habiburokhman, seorang anggota Komisi III DPR RI yang juga terlibat dalam pembahasan RUU KUHAP, dalam kesempatan terpisah yang dikutip dalam konteks pembahasan ini. Ini mengindikasikan bahwa RUU KUHAP kemungkinan tidak akan menghilangkan kewenangan khusus penyidikan yang dimiliki Kejaksaan berdasarkan lex specialis.
Namun, untuk tindak pidana umum, RUU KUHAP tampaknya akan mempertegas posisi Polri sebagai garda terdepan penyidikan. Isu mengenai kewenangan penyidikan jaksa dalam draf RUU KUHAP, terutama yang membatasi jaksa hanya sebagai penyidik tindak pidana Hak Asasi Manusia (HAM) berat, sempat menjadi perdebatan hangat dan menuai berbagai respons dari pakar hukum dan praktisi.
Proses Pembahasan RUU KUHAP yang Terus Bergulir
RUU KUHAP merupakan salah satu legislasi krusial yang diharapkan dapat membawa reformasi signifikan dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia. Proses pembahasannya melibatkan partisipasi publik yang luas dan masukan dari berbagai pihak untuk memastikan RUU ini lebih komprehensif, modern, dan sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia serta kebutuhan penegakan hukum yang efektif dan berkeadilan.
Habiburokhman menyebut bahwa draf RUU KUHAP saat ini masih dalam tahap penyempurnaan, dan DPR bersama pemerintah akan terus menerima serta mempertimbangkan masukan dari masyarakat selama proses pembahasan berlangsung. “Kilas balik pembahasan RUU KUHAP menunjukkan proses yang sangat transparan dan partisipatif,” demikian salah satu catatan terkait proses legislasi ini.
Pimpinan DPR juga telah menyatakan kesiapannya untuk membahas RUU Perampasan Aset setelah revisi KUHAP ini tuntas, menunjukkan keterkaitan antara berbagai upaya reformasi hukum yang tengah berjalan.
Penegasan Wamenkumham Eddy Hiariej mengenai pembagian peran antara Polri dan Kejaksaan dalam RUU KUHAP ini memberikan sedikit kejelasan mengenai arah kebijakan pemerintah dalam perumusan salah satu undang-undang paling fundamental di Indonesia. Ke depan, publik akan terus mengawasi bagaimana RUU KUHAP ini difinalisasi dan diimplementasikan, dengan harapan dapat mewujudkan sistem peradilan pidana yang lebih baik.